Think of all the beauty still left around you and be happy ;)

Selasa, 22 November 2011

Sang Pejuang



Beberapa hari yang lalu saya tidak sengaja menonton sebuah acara di televisi. Acara reality show tentang orang – orang pinggiran. Meliput tentang kehidupan orang – orang yang hidupnya kurang beruntung, orang – orang yang harus bekerja keras hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Acara yang bagus menurutku, jauh lebih berguna daripada reality show yang hanya menceritakan tentang artis – artis yang berusaha melucu walaupun tidak lucu. Bahkan jauh lebih bermakna daripada sinetron Putri yang Tertukar (ish..)
Episode kali ini menceritakan tentang seorang kakek tua di sebuah desa di Jawa Tengah. Mereka meliput kegiatan sehari – hari si kakek dan apa saja yang dilakukannya untuk menyambung hidupnya. Kakek ini sudah tua, mungkin usianya sekitar 70-75 tahun (lupa), beliau merupakan salah satu pejuang 45. Beliau tinggal di sebuah rumah yang sebenarnya hanya merupakan sebuah bilik berdinding bambu, berlantai tanah. Tidak ada tempat tidur empuk, tidak ada sofa, tidak ada televisi. Hanya ada sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu, juga sebuah tungku yang dipakai si kakek untuk sekedar memasak makanan ala kadar atau merebus air.
Wajahnya sudah penuh kerutan, menandakan banyaknya seluk – beluk kehidupan yang sudah dilaluinya. Tinggal seorang diri, istrinya sudah meninggal. Sementara anak – anaknya sudah menikah semua dan tinggal cukup jauh darinya. Kehidupan anak – anaknya yang tidak lebih beruntung darinya membuat si kakek tidak mau menambah beban mereka dengan tinggal bersama salah satu dari anak – anaknya itu. Ketika ditanya oleh wartawan yang meliputnya kenapa si kakek tidak mau tinggal bersama anak – anaknya itu, beliau menjawab dengan wajah yang biasa saja. “saya tidak mau merepotkan mereka. Mereka juga berjuang untuk kehidupan mereka. Dan mengapa saya harus pergi jauh – jauh, ini rumah saya, jadi di sinilah saya tinggal” ujar si kakek dengan logat dan bahasa jawa yang sangat kental.
Kakek ini menyambung hidupnya dengan menjual mainan pistol – pistolan dari bambu yang dibuatnya dengan sisa tenaga yang masih dimiliki tubuhnya. Pagi – pagi sebelum mencari bambu untuk membuat mainan tersebut, atau sebelum berangkat keliling kampung untuk menjajakan mainan buatannya itu, si kakek hanya sarapan dengan nasi putih dan lauk bandeng yang besarnya hanya seujung jempol. Nasi ini terkadang diberikan oleh salah satu cucunya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, dan itupun jarang karena si cucu juga hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Jika tidak ada nasi, kakek hanya sarapan dengan segelas teh hangat. Untuk kemudian berangkat, berharap ada rejeki yang bisa didapatkannya untuk menyambung hidupnya. Kondisinya sangat memprihatinkan, sudah sangat tua, mengundang rasa iba setiap orang yang memandangnya. Terkadang untuk menyeberangi jalan saja si kakek kesulitan dan harus meminta bantuan orang – orang yang lewat. Tapi semangatnya tidak pernah pudar. Terlihat jelas dari sorot matanya yang masih sangat kuat, bersemangat, tidak mampu dikalahkan oleh usia dan tidak tergerus oleh kerasnya aliran hidup.
Sewaktu muda, kakek berjuang dengan mengangkat senjata, mengusir para penjajah dengan semua kekuatan yang dimilikinya. Sekarangpun si kakek tetap berjuang, berjuang melanjutkan hidup sampai batas yang telah digariskan Tuhan. Inilah jawaban si kakek saat wartawan menanyakan apa harapan si kakek untuk pemerintah, apakah kakek mengharapkan bantuan dari pemerintah sebagai imbalan dari perjuangannya mempertahankan kemerdekaan negara ini?
 “Oh tentu tidak. Saya tidak mengharapkan apa – apa, saya sudah tua. Saya senang, saya bahagia sudah berjuang sewaktu saya muda, saya bahagia melihat negara kita merdeka dan bebas dari penjajah. Saya juga bahagia, karena sampai saat inipun saya masih berjuang dan saya tetap seorang pejuang, pejuang untuk hidup saya sendiri.” Jelas si kakek, dengan wajah tersenyum, sangat tulus, tidak ada yang dibuat – buat.
Ya, itulah yang memang dirasakannya. O iya, kalau tidak salah nama kakek ini Sudarta atau Sudarto *mungkin salah*. Siapapun nama kakek tadi, yang pasti beliau adalah pejuang, bukan hanya pejuang kemerdekaan, tapi juga pejuang hidup yang luar biasa.
Terkadang sebagai orang yang masih muda, berusia 20 tahun, saya sendiri termasuk orang yang mudah menyerah. Padahal harusnya saya bisa lebih bersemangat. Terlalu sering menyalahkan diri sendiri dan bertanya – tanya dengan semua hal yang rasanya tidak sesempurna milik orang lain. Bahkan dalam waktu tertentu saya merasa saya adalah orang paling menderita di dunia ini, orang paling tidak beruntung, bodoh, dan bahkan orang yang selalu mengalami kesialan setiap hari. Keegoisan sering membuat kita menyiksa diri sendiri.
Saya tidak bodoh, tidak ada orang bodoh, yang ada adalah orang yang malas dan tidak mau berusaha. *menghibur diri sendiri itu memang obat yang mujarab di saat – saat genting*.
Baik, mari kita sudahi tulisan ini sebelum menjadi tulisan curhat absurd, abstrak. Besok UTS, UTS terakhir sebenarnya, karena semester 8 sudah tidak ada kuliah, hanya mengerjakan skripsi. Berusaha, semoga cepat lulus, atau paling tidak lulus tepat waktu. Masih ada 2 tahun setelah selesai S1 ini, kuliah profesi masih menanti *tuh kan curhat lagi* -__-‘
 Ayo Bersemangat, selamat berjuang para pejuang hidup, MERDEKA! :D